Jumat, 26 Februari 2010

Tentang mimpi. ……bukan! ini tentang visi


Tentang mimpi. ……bukan! ini tentang visi

Beberapa waktu yang lalu saya sedang iseng membuka blog milik seorang teman lama, dalam salah satu posting-nya dia bercerita akan keinginannya memiliki sebuah toko buku kecil yang dia ilustrasikan mirip dalam film Nothinghill, sebuah toko travelbook yang dalam kisah film itu dimiliki oleh aktor utama yang saya lupa cara mengeja namannya jadi  tidak akan saya tulis disini daripada salah dan kena somasi. Karena merasa memiliki mimpi yang sama  saya langsung bersemangat memberi comment, saya ceritakan hasrat saya yang juga memimipikan memiliki sebuah toko buku mirip dalam film itu, lucunya saya tidak menyadari bahwa saat dia mendeskripsikan keadaan toko buku dalam film itu, isi kepala saya tertuju pada film yang lain.
Awalnya sehabis menulis komentar, saya memang merasa ada kejanggalan dalam tulisan saya, tapi lalu saya tidak acuhkan, “ah, mungkin sudut pandang kami yang sedikit berbeda, toh hanya sekedar comment,” ujar saya dalam hati. Saya sadari kekeliruan saya pada beberapa hari berikutnya saat saya bertugas di sebuah situs offshore. Saat  itu, pada waktu rehat saya menonton tv dari sebuah saluran televisi berlangganan dan secara kebetulan menayangkan film tersebut. Saya kaget dan jadi malu sendiri, “oh! Film ini maksudnya,” sementara film yang saya bayangkan waktu menulis komentar pada blog teman saya adalah film yang di bintangi aktis yang bermain di film City of Angel, namanya Meg Rayn kalo tidak salah (berarti harus betul). Di kedua film tersebut memang tokoh utama diceritakan memiliki toko buku, tetapi nuansanya sangat berbeda, kok bisa-bisanya pikiran saya tertukar.
Masih tentang mimpi, pernah juga di sebuah perbincangan ringan di sore hari bersama saudara perempuan saya, diawali ngobrol ngalor-ngidul, sampailah pembicaraan kami pada topik tetang membuka usaha mandiri. Dalam keluarga kami memang tidak mengalir darah entrepreneur yang cukup kental, ………
(DISINI TULISAN TERHENTI KARENA GENERAL ALARM BERBUNYI DAN SAYA HARUS SEGERA PERGI KE MUSTER STATION YANG TERNYATA HANYA DRILL. PENULISAN BERLANJUT KETIKA SAYA BERTUGAS DI TELUK BINTUNI-PAPUA…..........HAMPIR SATU BULAN KEMUDIAN)
……Dalam keluarga kami memang tidak mengalir darah enterpreneur yang cukup kental, dalam cerita-cerita mendiang ibu saya dulu dia pernah berkisah beberapa wirausaha yang pernah dia jalani bersama pasangan jiwanya (ayah saya tentunya), mulai dari warung sederhana, bengkel mobil, beternak ayam negeri dan masih banyak lagi dan beberapa diantaranya sempat mengalami masa keemasan dan pada akhirnya kedua orang tua saya memutuskan untuk istiqomah di dunia pendidikan hingga akhir khayatnya. Tapi mimpi, obsesi dan kesuksesan bukan mengenai genetik bukan?
            Jadi, mulai dari paragraph ini mari kita bicara tentang mimpi, tapi saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai sebuah visi.
Sebuah toko buku kecil yang tenang tanpa hiruk pikuk, tanpa announcer bersuara datar yang memperomosikan buku baru, tanpa berjualan peralatan elaktronik atau peralatan olahraga, tanpa pemberitahuan diskon yang bergantungan dimana-mana. Tempat yang nyaman untuk pengunjung berlama-lama untuk membaca buku, setidaknya untuk memastikan buku yang mereka beli tidak akan membuat kecewa saat membuka pelastik pembungkusnya di rumah. Walaupun kecil dan tidak ramai, toko buku ini tidak hanya menjual buku-buku dari penerbit besar, tetapi penerbit-penerbit kecil, penerbit kampus atau bahkan independent sehingga walau tidak memiliki banyak stok tetapi lengkap dan variatif.
Mimpi saya lainnya adalah sebuah restoran atau kafe atau sebuah warung kopi lebih tepatnya. Kenapa warung kopi? Karena warung kopi bagi saya adalah bagian dari identitas bangsa ini, saya pikir mulai dari timur hingga barat wilayah bangsa ini selalu ada yang namanya warung kopi, tempat orang bersosialisasi, nongkrong sambil saling mengenal dan bicara. Dari topik politik yang berat hingga pertandingan sepakbola. Sayangnya yang namanya warung kopi ini semakin terlindas saja dengan kafe-kafe, gerai kedai kopi waralaba yang sangat berbau amerika itu.
Tidak ada yang salah dengan yang namanya amerikan coffee, espresso, capucino ataupun latte, tapi dimata saya yang kampungan ini, yang asik dari yang namanya ngopi itu segelas besar kopi panas yang dipermukaannya penuh mengambang serbuk kopi, ditemani ubi goring, koran dan sebuah pembicaraan hangat (atau favorit saya adalah sambil menulis atau melamun), kita juga punya kopi yang tidak kalah nikmat dari espresso, toh kita punya kopi aceh, kopi toraja, kopi luak, kopi jahe, kopi dangdut dan masih banyak lagi. Tidak ada dalam benak saya untuk kampanye mengembalikan kebiasaan minum kopi bangsa ini ke akar budayanya, terlalu muluk, sayapun terbuka dengan pengaruh global. Saya hanya ingin memberikan sebuah alternative, sebuah pilihan lain, dari secangkir espresso kental bernuansa asam atau mug basar kopi manis berkrim tebal dengan serbuk kayu manis yang membentuk lukisan, ke segelas kopi tubruk sederhana tanpa ornament kecuali bubuk ampas kopi yang mengambang, tetapi di dalam kesederhanaan itu, pada aroma harumnya yang menguap terdapat karakter kuat, keramahan dan kehangatan bangsa ini. Rasa yang menjadi identitas bangsa ini. Bayangkan suatu saat jika biasanya para expatriate yang telah kembali kenegara asalnya ditanya apa yang anda rindukan dari Indonesia? jika biasanya mereka mengatakan “bau rokok kreteknya,”  kini merekapun berkata “aroma kopi tubruk,” ya kopi tubruk, kopi Indonesia.
Saya rakus, saya punya banyak mimpi dan saya mau semuanya, dan sekaligus pula. Jadi dalam benak saya adalah sebuah toko buku-klub baca-coffee shop. Dengan konsep menumpuk seperti itu saya tidak tahu yang mana yang harus menjadi main core business-nya, tapi saya yakin semunya bisa berjalan selaras. Dalam imajinasi saya sebuah toko kecil (atau berbentuk rumah) yang bagian dalamnya digunakan sebagai toko buku dengan rak rak buku ramping yang berjejer renggang, bangku bangku kecil untuk pengunjung duduk istirahat dan kipas angin besar yang berputar di langit langit ruangan (yup, tanpa AC). Ruang buku terhubung ke ruangan di bagian lebih luar yang menjadi pembatas dengan pintu masuk, sebuah ruangan yang berfungsi sebagai ruang baca yang sekaligus merupakan kedai kopi juga, dengan furniture kayu design  retro, beberapa set meja-kursi, satu set sofa dengan meja tamu, untuk pengunjung yang datang sendiri ada kursi dengan coffee table kecil yang exclusive disamping jendela. Juga terdapat beberapa set meja di teras untuk para perokok. Kedai dengan suasana yang cozy dan relative sunyi.
Menunya? Tentu saja kopi, sebagai variasi mungkin ada juga minuman sederhana wedang jahe, rhonde, bandrek, bajigur. Hanya ada makanan kecil sebagai cemilan teman minum kopi, tidak ada menu makanan berat. Di bagian kedai kopi itu tersedia rak-rak buku kecil dengan buku buku koleksi pribadi yang bebas dibaca pengunjung ditempat, membuatnya mirip reading club jadi pengunjung bisa baca buku seharian ditemani musik lembut dan secangkir kopi. intinya adalah sebuah tempat untuk orang-orang yang sedang ingin santai membaca buku tapi ingin mencari suasana berbeda, bosan di rumah tapi malas untuk pergi  ke tempat yg ramai, sebuah tempat untuk para introvert sejati (..he..he..he introvert united). Tapi juga sesuai untuk orang yang ingin hang out, nongkrong, kumpul ngobrol dengan teman lama.

epilog
Di suatu sore yang gerimis, saya duduk disalah satu meja di teras kedai, sebuah buku di pangkuan saya dan secangkir kopi yang perlahan beranjak dingin di atas meja., Mata saya menyapu ruangan, melihat beberapa pengunjung tengah asik bercengkrama, lalu beralih memandang tetesan hujan, dengan reflek tangan saya meraih cangkir kopi, menyeruputnya perlahan, membiarkan aromanya bergerak lamban melewati celah gigi  dan menyusuri lidah, …sesaat, lalu mengatupkan mulut, menyesap rasa yang tersisa di bibir yang masih basah oleh kopi hingga tidak ada rasa yang tersisa kecuali sebuah sensasi, sensasi khas kopi tubruk, sensasi rasa Indonesia……semua orang punya mimpi bukan?

P.S.: Mimpi, toko buku kecil yang gak hiruk pikuk, (tapi kalo gak rame bisa untung gak ya?). gak perlu ngejar untung, yg penting gak rugi n gak nambah utang, asal fix cost kebayar.
Anggap aja tulisan ini sebuah proposal, banyak gak ya temen2 yg punya visi sama? kan kalo bisa di kumpulin bisa diwujudkan tuh, modal bareng, usaha bareng, untung bareng...minimal kalo rugi bareng.  J

Tangguh feb 21, 2010

tukang nenteng kaleng