Selasa, 12 Januari 2010

Run Fat Boy Run


Run Fat Boy Run
Setelah ‘update status’ facebook, dengan hidung beringus saya berangkat dini hari itu,.Sedikit flu bukanlah sebuah alasan yang cukup kuat yang dapat diterima oleh perusahaan tempat saya menjemput rizki agar saya dapat menolak untuk bertugas. Jadilah siang harinya saya sudah berada di sebuah floating storage di perairan Natuna.
Keberuntungan berpihak pada saya waktu itu, karena alasan cuaca buruk maka pekerjaan saya ditunda hingga keesokan harinya, jadi saya masih punya waktu satu malam untuk mengistirahatkan tubuh sakit saya. Keesokan harinya ternyata saya tidak merasa lebih baik, malah kepala saya terasa berat, untunglah rekan kerja saya yang baik hati menawarkan diri untuk menyeberang ke tanker eksport sementara saya bertugas di terminal saja.
Seorang  loading master yang memperhatikan suara saya yang makin bindeng saja dan seringnya saya nyingsot menyarankan untuk menemui dokter, awalnya saya enggan karena takut terlilit aturan safety yang ketat, akan tetapi akhirnya saya ikuti juga sarannya.
Si dokter kaget saat memeriksa tekanan darah saya, “146/109” katanya, saya sendiri tidak tahu satuan untuk tekanan darah apa dan apa arti angka angka itu. Menurut si dokter itu sudah dalam stage 2 yang berdasar aturannya saya tidak diperkenankan untuk berada di area offshore. Dengan hasil pemeriksaan itu maka saya langsung diberikan rekomendasi untuk segera ‘turun’ direct to Jakarta yang secara kebetulan saya dan rekan saya memang sedang kasak-kusuk minta flight helicopter khusus untuk pulang sesegera mungkin setelah pekerjaan selesai. Klop sudah.  Dalam percakapan saya dengan Pak dokter dia menerangkan tentang berat tubuh saya yang secara gemilang telah mencapai tahap obesitas, juga tentang efek efek yang ditimbulkannya. Sesungguhnya apa yang kami bicarakan pernah saya dengar sebelumnya dan saya sadar penuh akan kebenarannya, hasil medical checkup setiap tahunnya pun selalu mengingatkan saya. Akan tetapi niat saya untuk bisa hidup dengan pola sehat tidak pernah kuat bertahan sekuat saat pendeklarasiannya, resolusi tahun baru tinggalah resolusi, dan berat tubuh saya terus menanjak.
Ternyata berdasarkan uraian sang dokter, berbagai penyakit telah menanti saya, dengan sabar menunggu hingga waktunya tiba lima belas tahun mendatang, tepatnya saat saya berumur 45 tahun dimana mereka akan dengan serta merta menyambut saya kedalam pelukannya, dimulai dari diabetes, liver, jantung koronel, ginjal dan banyak lagi, dua yang disebut terakhir adalah penyakit yang menemani kedua orang tua tercinta saya menemui malaikat Izrail (saya juga ada disana, tapi saya tidak masuk dalam katagori penyakit kan?!?!).
   Untuk hidup sehat saya harus memulai merubah pola makan saya,  “kira-kira sebegini”  ujar dokter sambil menumpangkan telapak tangan kanannya seperti gerakan memotong ke pangkal jari telapak tangan kirinya saat menerangkan kuantitas nasi yang boleh saya konsumsi (uh beraaaaat!!!). Karena sesunguhnya hidup saya tidaklah aman hingga lima belas tahun mendatang, masih menurut dokter, saat ini pun ada yang tengah mengancam jiwa saya, julukannya dikenal dengan nama silent killer, mengintai diam-diam, dan telah begitu dekat, menunggu saat yang tepat untuk memangsa saya. Oleh karenanya dokter menyarankan saya untuk segera berlari untuk menghindar darinya, tidak ada banyak waktu lagi dan tidak banyak pilihan selain berlari dan berlari. Berlari dalam arti sesungguhnya, saya harus mulai berlari. (dokter menyarankan minimal 30 menit dalam satu hari dan dari hasil investigasi pansus Century ternyata identitas si Silent killer itu bernama tekanan darah tinggi).
Kejutan telah menunggu saat saya tiba di shorebase, ternyata seat saya untuk flight Matak-Jakarta telah dibatalkan untuk sebuah alasan sehingga saya harus tinggal sementara di pulau tersebut hingga dua hari mendatang. Dalam hari penantian saya, saya sempat memeriksakan diri ke dokter yang bertugas di shorebase. Ternyata tekanan darah saya telah berubah menjadi 160/100.
Siang harinya, saat saya hendak berwudhu di sebuah mesjid, saat mendengus kencang untuk mendorong ingus saya keluar lalu secara tiba-tiba sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya, keseimbangan tubuh saya hilang, saya limbung. Sementara tangan saya berpegang erat pada keran, tubuh saya melekat pada dinding,  “Ini yang namanya darah tinggi,” hati saya berujar. Lantai tempat saya berpijak seakan bergerak memutar, saya angkat kepala saya dan pemandangan yang lain tampak bergerak memutar pula, lalu saya coba pejamkan mata, ternyata efek yang ditimbulkan bukan bertambah baik, tubuh saya semakin limbung. Dalam keadaan kritis saat itu otak saya masih sempat berpikir jangan sampai terulang lagi kejadian ketika saya terjatuh di kamar mandi di sebuah penginapan di Plaju yang berakhir tiga tulang rusuk saya patah. Juga tidak ada satu orangpun di mesjid pada saat itu. Saya biarkan tubuh saya melorot dan membuat berat tubuh  saya bertumpu pada lutut sementara tangan saya tetap berpegang erat pada keran. Untuk beberapa saat saya bertahan pada posisi seperti itu sambil terus berIstighfar
Saya berpikir bagaimana seandainya hal itu terjadi saat saya turun ke tugboat dengan personal basket atau saat sedang menggantung di “tangga monyet”, atau naik storage tank yang lumayan tinggi dan curam itu. Rupanya ‘silent killer’ sang pembunuh sudah mulai melancarkan aksinya, begitu nyata mengancam jiwa saya. Saya harus segera berlari, …”Run fat boy run!!!”

Sukabumi 02022010

PS:  - “Run Fat Boy Run” sesungguhnya adalah sebuah judul film yang saya jarah (tentunya tanpa izin dari si pembuat) yang saya merasa tokoh ceritanya memiliki sebuah kesamaan karakter  dengan saya.
            - Saat saya menulis tulisan ini (keesokan harinya setelah saya tiba di Jakarta) saya mendapat telephon dari kantor bahwa nanti malam saya sudah harus berangkat lagi ke Natuna tanpa sempat memeriksakan diri ke dokter apalagi memulihkan kondisi kesehatan saya. (yes this is  life, and  it’s hurt sometime)

tukang nenteng kaleng