Sabtu, 29 Oktober 2011

Jalan-jalan sore


trek matak ke matak kecil
Jalan-jalan sore di pulau Matak, berdua bersama seorang kawan, kami berangkat tepat pukul 14.30  dari kamar, rute Matak besar-Matak kecil via jalan dan pantai. Trek full tanjakan untuk sampai ke Matak kecil yang berada di balik bukit sisi lain dari pulau ini, untunglah jalan sudah diaspal dengan baik, sementara kanan-kiri dijejali pepohonan yang lebat, cengkeh, sukun, kelapa dan durian disana-sini sepanjang jalan. Setelah ¾ perjalanan, tepat di atas bukit adalah titik balik kemiringan, pemandangan yang indah saat melihat kearah pangkal dan ujung jalan, tampak basecamp awal perjalanan ini, berbatasan dengan teluk dan sudut lain kepulauan. Mulai dari sini jalan menurun sangat curam, saya rasa kemiringannya lebih dari 450. mungkin tinggal sisa 1/8`perjalanan kami temukan ada jalan baru yang sedang di bangun berbelok kearah kanan. Jalan baru yang tengah dibangun pengembang lokal untuk membuat dermaga bongkar muat dan prasarana pendukung, kami berbelok arah mengikuti jalan baru yang masih tanah merah bergelombang, beberapa monyet tiba tiba meloncat keget turun dari pepohonan saat kami lewat. Ujung jalan adalah pantai yang sedang direklamasi, dari situ kami susuri pantai berbatu yang sedang surut kearah matak kecil. Perjalanan melambat karena medan yang tidak mudah, tapi terbayar oleh  pemandangan yang memukau. Sesekali kami menemui penduduk yang sedang menambang batu. Melihat air laut sore yang hangat dan jernih, sempat pula terlintas untuk berenang tapi kami urungkan mengingat harus memakai celana dalam basah saat pulang nanti.
Setiba di Matak kecil kami masuk ke shorebase sebuah perusahan minyak nasional. Keadaan sudah berbeda dari lima tahun yang lalu ketika terakhirkali saya kesana. Dermaga kayu sudah berubah menjadi beton dan mess  yang mirip cottage sederhana sudah bertambah, sayang dibawah mess yang berstruktur panggung di atas laut itu, bunga karang yang dahulu terlihat jelas tembus dari permukaan air yang jernih, penuh corak memenuhi dasar laut kini sudah tidak ada lagi, berikut ikan-ikan berwarna warni yang tak pernah putus berseliweran kini menghilang, Yang tersisa tinggal serpihan-serpihan bungakarang mati yang bertebaran pucat di dasar laut dan  ikan yang hanya sesekali saja terlihat lewat di bawah dermaga.
menelusur pantai berbatu

Setelah istirahat sebentar, minta minum dan numpang shalat ashar kami balik, karena sudah sore, kami putuskan untuk tidak lagi mengambil rute pantai. di pos security kami ditanyai kok bisa-bisanya kami masuk komplek shorebase mereka tanpa melewati pos jaga. Saat saya terangkan bahwa kami menyusur pantai tadi, anggota AL yang jaga menyindir  mengatakan memang seharusnya komplek dipagar hingga pantai, teman saya nyeletuk ringan, “iya kami sedang belajar jadi infiltran pak”.
Perjalanan pulang diawali dengan “pendakian”, turunan curam yang kami lewati tadi sekarang harus dititi menanjak perlahan. Kami sepakat istirahat setiap duapuluh langkah. Setelah puncak bukit terlewati, jalan landai menurun menanti. Waktu tempuh meringkas menjadi kurang dari satu jam saja. Setiba di kamar waktu sudah 17.30. total tiga jam perjalanan kami jalan-jalan sore, lumayan bakar kalori yang sudah menumpuk berlebih di pinggang, walau pada malamnya kami timbun lagi saat makan malam.
hosh.. hosh... hosh


Rabu, 12 Oktober 2011

Long way to die


Beberapa “Mama” berderet menggelar dagangannya di sekitar bandara Babo, dengan kardus-kardus bekas seadanya, mereka semua menjual kepiting bakau, kepiting dengan ukuran sangat besar menurut saya jika dibandingkan dengan kepiting yang sering saya liat jika melintasi pasar Keramatjati.  Dengan harga berkisar seratus ribu hingga seratus limapuluh ribu rupiah setiap kardusnya, berisi sepuluh sampai lima belas ekor (walau sebenarnya tak berekor, tapi istilahnya jadi apa?!?!), dengan ukuran  seperti itu jadi terasa murah.
Buah tangan yang satu ini menjadi khas bila saya pulang bertugas dari Tangguh, Bintuni, bukan karena khasnya saja tapi karena trip yang hanya dari airport ke airport tanpa melewati perkotaan atau kawasaan perniagaan lokal, maka kepiting ini sajalah opsi yang ada untuk oleh-oleh dibawa pulang. Sebenarnya masih ada pilihan seperti ikan asap atau sarang semut, tapi untuk sengaja membelinya, kita harus menyempatkan diri pergi ke pasar setempat saat transit di bandara Biak, dan biasanya tidak ada waktu (atau terlalu malas) untuk melakukan itu.
Dalam kotak kardus bekas kemasan mei instan kepiting berderet rapat, rapih menghadap keatas dengan capit terikat. Entah sudah berapa lama para tahanan ini terikat dalam posisi seperti itu, Mama, sang penjual berpromosi tentang kotak kepitingnya yang berisi beberapa betina, saya manggut manggut tidak mengerti.
Setelah terbang melintasi hampir separuh panjang negeri ini para kepiting ini terlihat jinak, karena walau banyak ikatan pada capitnya sudah terlepas, pada saat saya taruh mereka di ember, mereka tidak banyak bergerak. Ternyata saya salah, karena satu malam saya biarkan mereka dalam keadaan relatif bebas dalam ember, dipagi keesokan harinya mereka berubah menjadi begitu agresif, dengan capit yang terangkat keatas menyerang setiap apapun yang mendekat. Rupanya perilaku kalem mereka hanya efek jet lag saja.
“Kata temen sih digetok aja kepalanya pake palu!” suara kakak perempuan saya ditelepon. Sebuah informasi yang menyesatkan. Saya pilih target korban, saya angkat palu sambil menimbang-nimbang, mencoba menakar tenaga yang akan digunakan, “Bismillah,” saya ayunkan palu penuh ragu. TOK!!!   …Si kepiting yang naas masih hidup, tapi sekarang dengan lubang bulat diatas batok kepalanya. Tidak ada tanda-tanda sang kepiting akan menemui ajalnya, hanya kepala saya sekarang yang berdenyut meliat itu semua. Jalaslah sudah sekarang, ‘si teman’, sang pemberi saran sepertinya hanya memberikan idenya berdasarkan asumsi bukan pengalaman.
Pada akhirnya saya kembali ke ide awal, eksekusi dilakukan menggunakan air mendidih.  Masih dengan kronologi yang tak kalah dramatis, pasang mata menonjol yang seperti terus menatap, beberapa hentakan saat menjemput maut, tubuh memerah, akhirnya mereka menjalani takdirnya dalam damai (semoga). Jadi, dibalik sepiring hidangan kepiting saus padang, ada jalan yang sangat panjang, jalan yang panjang untuk kematian. Dalam pencarian pembenaran, saya jadi ingat puisi Dadang Ari Mortono*)

*) Dadang Ari Mortono, “Sesaat sebelum kelinci itu disembelih” dimuat  harian KOMPAS, minggu, 16 Januari 2011

tukang nenteng kaleng