Selasa, 12 Maret 2013

Mood



Saya sudah tidak ingat lagi kapan terakhir menulis untuk blog ini. Mungkin karena perhatian saya yang teralihkan pada blog-blog lain yang saya buat dengan tema yang berbeda, atau mungkin karena rutinitas yang berulang selama tujuh tahun saya jalani dalam profesi ini membuat setiap perjalanana yang semula terasa unik dan berkesan perlahan berubah menjadi sesuat yang datar, hambar tanpa makna.

Sore ini, di sebuah storage tanker offshore di tenggara Sumatra, iseng menunggu waktu crewchange yang baru tiba dua hari lagi, saya membuka folder-folder lama. Saya dapati sebuah folder usang bernama sama dengan judul blog ini, berisi dua puluh empat file word berisi draft tulisan yang semula akan saya dedikasikan untuk mengisi blog ini. Duapuluh empat ide yang tak pernah tuntas. Anak-anak pikiran saya yang gagal terlahir. Saya buka satu persatu file itu untuk coba menyelesaikan pekerjaan yang saya mulai, ternyata sulit sekali, sangat berbeda dengan jika kita langsung menulis ide saat pertama kali mereka muncul dan berlarian dalam kepala kita. Bahkan ada banyak file yang saya sama sekali lupa apa inti yang akan saya tulis dari draft itu. Situasi yang benar-benar membuat frustasi.

Benar apa yang dikatakan Yoris Sebastian dalam bukunya  ‘101 Creative Notes’, “Don’t fight your body, fight your felling.” Satu hari sebelumnya, pekerjaan saya membuat saya terjaga dua malam berturut-turut, setelah itu saya tewas terkapar seharian. Tubuh memiliki batas fisik yang harus kita fahami. Hati (liver) bekerja saat kita tidur, otak butuh istirahat, mata butuh terpejam, dan otot-otot harus mengendur. Jantung yang berada dalam tumbuh tambun penuh lemak ini hanya bisa berdenyut 192 kali setiap menitnya, tidak lebih. Jika saya paksakan beraktivitas maximum terus menerus maka akibatnya bisa sangat fatal. Tapi pikiran berbeda, mood bisa kita kendalikan, ide bisa berkembang tanpa batas, bahkan melampaui zaman. Ide tetap hidup saat sang pemikir sudah mati. Sedari awal seharusnya saya melawan mood saya yang angin-anginan itu, mengendalikan sepenuhnya perasaan. Jika rasa malas itu dulu saya lawan mungkin ide-ide dalam dua puluh empat draf tulisan yang saya temukan itu tidak akan mati suri untuk waktu yang begitu lama dan sekarang harus tertidur kembali, entah sampai kapan.

tukang nenteng kaleng