Minggu, 07 September 2014

Eeyore in me



Dalam bukunya “The Te of Piglet,” Benjamin Hoff berbicara tentang kebijakan taoisme dalam berbagai perihal kehidupan, dalam sistem pendidikan, gerakan feminist, politik, dan banyak-banyak hal lingkungan. Dengan menggunakan tokoh-tokoh rekaan karya A. A. Milne dalam cerita Winnie the Pooh, Benjamin Hoff menjelaskan berbagai karakter manusia. Piglet yang selalu waswas dan tidak percaya diri dan tidak menyadari potensi yang dimilikinya, Eeyore yang negatif dan "menularkan" negatifitasnya, Tiger yang antusias dengan percaya diri yang berlebih dan berkepribadian mengendalikan. Begitupula kerakter Pooh, Rabbit, dan Owl tak luput diulasnya. Mungkin hanya Kanga, Roo  dan tentunya Christopher Robin yang hanya menjadi pelengkap dan mendapat sedikit porsi. Beberapa kegelisahan saya  muncul dalam buku ini dan digambarkan dengan tepat oleh Hoff, Sistim pendidikan yang membebani anak dan memaksa menerima materi dan informasi yang belum perlu atau layak mereka terima, membuat masa anak-anak menjadi lebih singkat, digantikan masa remaja yang prematur (hal. 73) dan perkembangan otak yang tidak seimbang (hal. 74).

Saat tiba di halaman 83 dan membaca kutipan Nadezhad Mandelstam "Kebaikan bukanlah sebuah kualitas inheren-ini harus dipupuk, ..." seperti katalis yang memicu reaksi otak saya, ingatan saya tiba-tiba melompat mundur, mungkin 12 atau 13 tahun yang lalu. Melompat dan masuk kesebuah ruangan di kampus dulu, dimana saya duduk berhadapan dengan seorang dosen pembimbing akademis, matanya melekat tajam tak terhindarkan, tangannya diatas meja yang memisahkan kami, menggenggam kartu rencana studi yang saya ajukan.

*"Enggak kebanyakan Mas? Kemaren saja kamu cuman lulus 9 SKS"* Otot pipinya berkontraksi, sekilas, tapi siapapun yang melihatnya tahu itu adalah sebuah senyuman yang melemahkan.

*"Enggak pak, barangkali sekarang bisa lebih banyak."* Saya mengelak tak berdaya, usaha bela diri yang sia-sia.

*"Mas itu memang sudah dari sananya santai, jiwanya minta libur terus."* Terdengar beberapa kawan mahasiswa yang duduk-duduk mengantri di satu set kursi tamu tepat di belakang saya mulai cekikian, sementara  itu dia meletakan kartu rencana studi yang dari tadi terus dibolak-baliknya lalu bersandar sambil mempertemukan jemari di kedua telapak tangannya, memberikan aura yang lebih intimidatif lagi, dialog selanjutnya adalah sebuah arena pembantaian.

Sesuatu yang ironis adalah, saya tidak ingat betul sisa wejangan maraton di 30 menit berikutnya, tapi kalimat *"Mas itu memang sudah dari sananya santai, jiwanya minta libur terus."* Berikut tatapan, senyuman dan jari-jari yang saling mengatup itu benar-benar terpatri di benak saya.

Di bab-bab lain episode kehidupan saya selanjutnya, kalimat itu menjadi sering muncul, bukan dari orang lain, melainkan saya sendiri yang mengucapkannya. Entah itu saat menunda pekerjaan, saat bekerja, saat santai, saat mencanangkan resolusi di awal tahun, target hidup, bahkan memilih profesi baru. Kalimat yang saya gunakan sebagai pembenaran atas kemalasan saya, sebuah dogma yang saya amini lalu saya telan begitu saja tanpa mempertanyakan kebenarannya. Sering saya bernostalgia kemasa lalu dan berpikir sambil tersenyum, "pintar betul ya dia membaca karakter mahasiswanya."

Seperti halnya kebaikan, daya juang, determinasi atau sebaliknya sifat malas dan santai bukanlah sebuah kualitas inheren, tapi sesuatu yang bisa tumbuh karena dilatih dan dipupuk, atau juga terkikis bila tidak diasah. Tidak ada orang yang rajin, malas, tekun, santai atau sifat apapun yang datang "dari sananya",  semuanya adalah hasil dari pembiasaan atau latihan secara sengaja, positif atau negatif semuanya bertumbuh karena terpupuk. Disuatu masa dikehidupan saya, Eeyore pernah datang dan menanamkan sebutir benih dikepala saya, lalu saya siram dan pupuk benih itu hingga tumbuh dan berkembang. Sekarang, mungkin sedikit terlambat, tapi tak mengapa, sekarang saatnya saya merabutnya hingga keakarnya yang terdalam, sebelum dia berbuah dan menghasilkan benih, dan mungkin secara tidak sengaja saya menamkan benih itu dikepala seseorang. Tidak ada dendam untuk Eeyore, dia hanya meletakan benih, sayalah yang membiarkanya hidup. Atau mungkin tanpa disadari saya telah berubah wujud menjadi Eeyore pula.

Itulah kehidupan, sebuah perjalanan proses belajar tanpa henti. Beberapa buah pemikiran Benjamin Hoff senada dengan banyak penulis lain yang mencoba menelaah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, seperti terlihat pada hal. 180.
"Mungkin saja hal-hal yang baik adalah semacam ujian, yang sebenarnya jauh lebih sulit, dan hal-hal yang "buruk" adalah hadiah untuk membantu kita tumbuh dan berkembang: masalah-masalah yang harus dipecahkan, belajar mengetahui situasi-situasi yang harus dihindari, kebiasaan-kebiasaan yang harus diubah, kondisi-kondisi yang harus diterima, pelajara-pelajaran yang harus dipelajari, hal-hal yang harus ditransformasikan-semua kesempatan untuk mendapatkan kebijaksanaan, kebahagiaan, dan kebenaran."
Pernyataan mengingatkan saya dengan yang dikatakan oleh *Andrew Matthews* dalam bukunya "Follow Your Heart" bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini adalah proses belajar, tidak satupun melainkan untuk mempersiapkan kita, dan jika sesuatu yang "buruk" terjadi, maka ada dalam peristiwa itu sesuatu yang harus kita pelajari, dan apabila hal "buruk itu kembali berulang berarti ada sesuatu pelajaran yang kita lewatkan atau bahkan kita belum mengambil pelajaran apapun.

tukang nenteng kaleng