-Untuk mencapai tujuan hidup, kita harus belajar
dari Generation-Y yang sering mengatakan “Move on dong kaka…!” tulis Steve Kosasih dalam rubiknya,
INSPIRA di harian Kompas yang saya baca kemarin (kamis, 25 Juni 2015).
Steve Kosasih bercerita tentang peristiwa
kesehariannya dengan putrinya sebagai prolog untuk membahas soal Sunk cost fallacy, Kecenderungan manusia
untuk tetap melakukan sesuatu hanya karena sudah terlanjur “menginvestasikan”
biaya, waktu atau emosi yang terlalu “banyak” meskipun demikian melanjutkannya
tidak membawa keuntungan, bahkan lebih sering menambah penderitaan.
Saya terenyuh membacanya, saya adalah
satu dari sekian banyak yang mengalaminya. Dulu belum ada yang namanya passion, belum heboh dibicarakan
maksudnya. Ada sih yang namanya penelusuran minat dan bakat dari guru BP waktu
SMU dulu, tapi seingat saya cuman sampai sebatas pengisian quisioner saja,
tidak ada kelanjutan atau feedback
nya. Di lingkungan pun yang popular adalah mengejar kuliah di tempat favorit,
jurusan favorit untuk profesi favorit tidak peduli seberapa kemampuanmu apalagi
yang namanya passion, hasrat atau
fitrah yang kita punya. Jadilah kuliah pun seperti terdampar di pulau asing.
“Winners
never quit” Itu bunyi tulisan yang saya print dan tempel di meja belajar kamar
kost selama masa kuliah, tulisan yang saya baca berulang-ulang, memacu terus
berusaha walau studi saya sudah terseok nyaris ambruk. Saat itu belum tahu
bahwa “doktrin” itu dikutip dari Seth Godin dalam bukunya The Dip yang mengatakan “Winners
never quit and quitters never win” sungguh dahsyat efeknya. Sayang saya
mengamininya tanpa kearifan, ditambah pikiran sudah terlanjur, terlalu banyak
waktu dan biaya yang sudah terpakai dan tidak mau jadi sia-sia, jadilah saya
terjebak dalam sunk cost fallacy.
Kali kedua adalah dalam dunia kerja,
sempat saya “terjebak” dalam profesi dan posisi yang sama selama genap delapan
tahun. Rasa sayang dan takut membuat saya bertahan begitu lama, padahal waktu
yang saya habiskan tidak membuat saya menjadi “mastering” dibidangnya, tidak pula bertambah makmur. Saya seperti
kodok yang terlena oleh nyamannya air hangat padahal berada dalam panci di atas
kompor.
Kita (saya) harus bisa lebih bijaksana
mengartikan nasehat Seth Godin, maka kita bisa lebih presisten dalam berikhtiar
tapi tidak ngoyo pada satu jalan, mengerti batas kemapuan dan keterbatasan, sadar
kapan harus menyerah, tahu kapan waktunya berpindah dan mencari alternatif
jalan lain. Move on...