“Hasilnya udah on, tinggal
nunggu discharge, tinggal pulang aja
pak, paling laporan hasil analisanya baru dibuat besok siang, balik lagi aja
besok…”
Uh” sia-sia sudah penantian selama 7 jam hari itu, selama melangkah
keluar gedung saya coba kunci mulut saya, mencoba untuk tidak bersungut.
Di luar hari sudah gelap, masih ada beberapa warung makan yang buka
namun angkot angkot berwarna kuning itu sudah tak terlihat lagi. Baru jam 8
malam tapi jalan sudah lengang, hanya terlihat satu becak, tak ada pilihan
lain.
“Bunderan pak! Bisa?”
“Bisa,” ujarnya sambil menegakan sandarannya
“Berapa?”
“Jauh, …dua puluh ribu” ujarnya, sayapun mengangguk tak sampai hati
untuk menawar.
Tubuh rentanya bangkit memutar kendaraan roda tiga tersebut ke
posisi agar saya bisa naik dengan mudah, sebelum menduduki sadel, tangannya
yang kurus dengan terampil menyalakan selinting rokok kretek, wush… wush, asap
pun mengepul di kegelapan. Sesuatu yang selalu tidak sanggup saya pahami
sebagai seorang yang tidak merokok, Seperti lokomotif uap, sepertinya paru
parunya harus terbakar terlebih dahulu sebelum digunakan.
Sepuluh menit berlalu semenjak kami meninggalkan pangkalan becak,
jalan yang terlewati landai, sepi dan gelap, roda, rantai dan gigi saling
berderit menjadi musik pengiringi sepanjang perjalan kami yang lengang. Hening
tanpa percakapan, si bapak terus mengayuh, nafasnya seperti susul menyusul tak
beraturan ketika jalanan berubah menjadi menanjak saat mendekati jembatan.
Sebelum mencapai titik kulminasi si bapak turun dari sadelnya, dengan tersengal
mendorong becak dengan bobot penumpangnya yang hampir mendekati satu kuintal
itu.
Saya rikuh untuk tetap duduk, tapi juga bingung, apa saya harus
turun? Atau malah sekalian bantu mendorong becaknya saja? Tapi masa sih? Akhirnya
saya duduk canggung menahan nafas sampai tanjakan terlewati.
Sisa perjalanan malam itu menjadi sebuah moment perenungan, saya
yang penuh keluh kesah dalam menjalani pekerjaan dan bapak tukang becak dengan
dengan dua puluh ribu rupiah untuk
sebuah perjalanan yang tak sebanding. Sungguh tak pandai saya bersukur.
Di muka sebuah hotel murahan
saya turun, dengan lembaran uang dan senyuman kecil bapak tukang becak melompat
ke atas sadel dan mulai mengayuh pedal pedal yang memutar roda hidupnya, menjauh
dan menghilang di kegelapan, meninggalkan saya sendiri yang masih termenung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar