Bogor
malam yang gerimis, udara yang dingin, warung tenda dan sepiring sate padang
hangat. Sebuah kombinasi yang saling melengkapi dengan begitu harmonis. Saya
sempatkan untuk momen ini karena perut yang sudah lapar dan perjalanan ke
sukabumi yang masih sekitar tiga jam lagi. Sambil menikmati hidangan dan udara
malam, saya lepaskan pikiran untuk melayang terbang. Karena melamun itulah saya
tidak sadar ada seseorang datang berdiri dihadapan saya, wanita separuh baya
dengan pakaian lusuh mengasongkan telapak tangannya yang terbuka di depan saya.
Saya terenyuh, di malam yang dingin seperti ini, lagi hujan, dia harus menyeret
tubuh keriput kurusnya mencari sedekah untuk mengisi perutnya, sementara
mungkin bagi wanita lain seusianya sedang menikmati berkumpul ditengah
keluarganya, dengan perut kenyang, dengan rumah yang hangat. Bagaimana dengan
dia, sendiri, tidak ada yang peduli dan mengurusnya. Dengan imajinasi yang
tercipta tentangnya saya bereaksi cepat, saya hitung isi dompet, setelah
menghitung berapa yang harus saya bayar untuk makan dan ongkos perjalanan
selanjutnya, saya ambil sisanya dan meletakannya pada genggaman si ibu itu.
Kemudian dia berucap terimakasih dan berlalu pergi dan saya sendiri melanjutkan makan dengan perasaan
berkelimpahan.
Selepas makan, dengan perut terganjal
saya berjalan mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan, saya teringat
wanita paruh baya tadi, mungkin dia juga sudah mengisi perutnya, perasaan saya
terbebas dari perasaan bersalah bahwa perut saya kenyang sementara di sekeliling
saya masih ada orang yang kelaparan. Saya naik ke sebuah colt dan memilih duduk dekat jendela, saya berharap tidak ada
kejadian yang mengharuskan saya merogoh saku selain untuk membayar ongkos
karena sudah tidak ada lembaran uang lagi selain untuk membayar transportasi
ini. Saat colt melaju perlahan
memulai trayeknya, saya layangkan pandangan menyisir sisi jalan, melihat
pemandangan bogor di malam hari.
Tiba-tiba pandangan saya terkunci pada sesosok wanita paruh baya yang berdiri
didepan sebuah kios gerobak rokok, tangan kirinya memegang gelas limun kemasan
sementara yang lainnya menjepit sebatang rokok, sambil bercakap-cakap dia
hembuskan asap putih tipis dari bibirnya yang perlahan melayang lalu sirna, begitu
pula rasa empati saya , melayang lalu sirna seperti asap rokok itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar