Beberapa “Mama” berderet
menggelar dagangannya di sekitar bandara Babo, dengan kardus-kardus bekas
seadanya, mereka semua menjual kepiting bakau, kepiting dengan ukuran sangat
besar menurut saya jika dibandingkan dengan kepiting yang sering saya liat jika
melintasi pasar Keramatjati. Dengan
harga berkisar seratus ribu hingga seratus limapuluh ribu rupiah setiap
kardusnya, berisi sepuluh sampai lima belas ekor (walau sebenarnya tak berekor,
tapi istilahnya jadi apa?!?!), dengan ukuran seperti itu jadi terasa murah.
Buah tangan yang satu
ini menjadi khas bila saya pulang bertugas dari Tangguh, Bintuni, bukan karena
khasnya saja tapi karena trip yang hanya dari airport ke airport tanpa melewati
perkotaan atau kawasaan perniagaan lokal, maka kepiting ini sajalah opsi yang
ada untuk oleh-oleh dibawa pulang. Sebenarnya masih ada pilihan seperti ikan
asap atau sarang semut, tapi untuk sengaja membelinya, kita harus menyempatkan
diri pergi ke pasar setempat saat transit di bandara Biak, dan biasanya tidak
ada waktu (atau terlalu malas) untuk melakukan itu.
Dalam kotak kardus bekas
kemasan mei instan kepiting berderet rapat, rapih menghadap keatas dengan capit
terikat. Entah sudah berapa lama para tahanan ini terikat dalam posisi seperti
itu, Mama, sang penjual berpromosi tentang kotak kepitingnya yang berisi
beberapa betina, saya manggut manggut tidak mengerti.
Setelah terbang
melintasi hampir separuh panjang negeri ini para kepiting ini terlihat jinak,
karena walau banyak ikatan pada capitnya sudah terlepas, pada saat saya taruh
mereka di ember, mereka tidak banyak bergerak. Ternyata saya salah, karena satu
malam saya biarkan mereka dalam keadaan relatif bebas dalam ember, dipagi
keesokan harinya mereka berubah menjadi begitu agresif, dengan capit yang
terangkat keatas menyerang setiap apapun yang mendekat. Rupanya perilaku kalem
mereka hanya efek jet lag saja.
“Kata temen sih digetok
aja kepalanya pake palu!” suara kakak perempuan saya ditelepon. Sebuah
informasi yang menyesatkan. Saya pilih target korban, saya angkat palu sambil
menimbang-nimbang, mencoba menakar tenaga yang akan digunakan, “Bismillah,”
saya ayunkan palu penuh ragu. TOK!!!
…Si kepiting yang naas masih hidup, tapi sekarang dengan lubang bulat
diatas batok kepalanya. Tidak ada tanda-tanda sang kepiting akan menemui
ajalnya, hanya kepala saya sekarang yang berdenyut meliat itu semua. Jalaslah
sudah sekarang, ‘si teman’, sang pemberi saran sepertinya hanya memberikan
idenya berdasarkan asumsi bukan pengalaman.
Pada akhirnya saya
kembali ke ide awal, eksekusi dilakukan menggunakan air mendidih. Masih dengan kronologi yang tak kalah
dramatis, pasang mata menonjol yang seperti terus menatap, beberapa hentakan
saat menjemput maut, tubuh memerah, akhirnya mereka menjalani takdirnya dalam
damai (semoga). Jadi, dibalik sepiring hidangan kepiting saus padang, ada jalan
yang sangat panjang, jalan yang panjang untuk kematian. Dalam pencarian
pembenaran, saya jadi ingat puisi Dadang Ari Mortono*)
*) Dadang
Ari Mortono, “Sesaat
sebelum kelinci itu disembelih”
dimuat harian KOMPAS, minggu, 16 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar