Roberto Mancini dipecat oleh Manchester City
setelah menjadi manajer selama tiga setengah tahun. Roberto Mancini gagal
mempertahankan juara Liga Primer dan kalah di final Piala FA 2013.
Pernyataan Manchester City menyebutkan dia gagal mencapai satu pun sasaran
klub, kecuali lolos ke Liga Champions musim mendatang. Padahal bulan Juli tahun
lalu, City baru saja memperpanjang kontrak Mancini yang baru untuk lima tahun.
Manajer
asal Italia yang berusia 48 tahun ini menggantikan Mark Hughes yang dipecat
pada Desember 2009. Di bawah kepemimpinannya, City meraih juara Liga Primer
2012, yang pertama dalam waktu 44 tahun belakangan.
Perkara
pecat memecat memang sudah biasa di dunia persepakbolaan, ada sekian alasan
untuk pemecatan tersebut, ada pro dan kontra. Tak luput manajer Manchester
United, Sir Alex Ferguson mengkritik putusan manajemen Manchester City
ini. Pertanyaannya, siapa yang paling bertanggungjawab dan layak dipecat jika
target yang sudah ditetapkan luput dari genggaman?
Mungkin
Joe Hart selaku keeper pernah melakukan kesalahan sehingga gawang yang menjadi
tanggung jawabnya untuk dijaga terjebol, atau bariasan pertahanan yang
dipimpin Kompany bisa tertembus
penyerang lawan, bisa juga Aguero atau Dzeko yang bertugas mencetak skor gagal
melakukan eksekusi. Semua lini memiliki peran dalam kegagalan The Citizen, tapi
itu bukan alasan untuk mereka dipecat. Mungkin ada kekalahan-kekalahan kecil di
berbagai pertempuran, tapi kemenangan ditentukan oleh keseluruhan peperangan. “We may lost the battle but we must win the
war,” itu istilah yang biasa dipakai para bule.
Setiap
anggota squad Manchester City
memiliki tanggungjawab yang diemban dan konsekuensi yang harus ditanggung bila
gagal, tentunya sesuai dengan kapasitasnya. Mungkin di bangku cadangkan,
mungkin tidak masuk lineup, atau bahkan dijual, dan itu wewenang Mancini. Namun
hasil akhir adalah tanggungjawab Mancini sebagai manager, target yang luput dan
konsekuensi pemecatan harus diterimanya, ia sadar akan hal itu dan legowo
menerimanya.
Sejak
awal sebenarnya tulisan ini tidak bermaksud membicarakan sepakbola, tapi
tentang tanggungjawab, dan konsekuensi. Beberapa hari yang lalu saya mendapat
berita yang tidak mengenakan secara bertubi-tubi dari rekan yang ada di head
office (sementara saya sedang bertugas di papua). Kabarnya perusahaan sedang
mengalami goncangan, satu devisi sudah gulung tikar, satu devisi lain menunggu
sakartul maut dan total kerugian perusahaan tahun ini mancapai 2M, angka yang
cukup fantastis untuk kalangan kuli bergaji UMR seperti saya. Efek goncangan
ini mulai merembet kemana mana, devisi saya melakukan pengetatan (yang
menyesakan) secara besar-besaran, beberapa tenaga administrasi direlokasi dan
apesnya ada beberapa sumberdaya manusia terpaksa terkena pemutusan hubungan
kerja. Dramatis sekali, dibulan puasa ini, sementara yang lain sedang sibuk untuk
merayakan lebaran, mereka harus kehilangan sumber penghasilan utama mereka,
yang menjadi ironis adalah posisi mereka hanyalah office boy dan supir.
Tidak
seperti Joe Hart yang bertugas menjaga gawang atau Aguero yang mencetak skor,
tugas mereka sebatas bersih-bersih dan membawa mobil. Kita semua bisa
memperkirakan seberapa besar tanggungjawab di level mereka, tapi untuk
konsekuensi pemecatan atas kerugian 2M? tidak atas dasar pengetatan, tidak pula
alasan perusahaan yang goncang. Tidak
seharusnya mereka menanggung itu semua, bahkan tidak untuk kami yang berada di
posisi ujung tombak perusahaan yang langsung berhadapan dengan klien. Ini bukan
perkara satu-dua order lapangan, apalagi kesalahan mencuci gelas kotor di
pantry. Ini bukan tentang pertempuran-pertempuran kecil. Ini tentang hasil
akhir sebuah peperangan, dan sepatutnyalah orang yang memiliki target dan
strategi atas pendapatan perusahan yang
bertanggungjawab dan menanggung konsekuensinya. Jajaran managemen harus lebih mawas diri,
memandang sebuah peristiwa dengan jiwa besar dan bertanggung jawab menerima
kekalahan dan konsekuensinya dengan legowo.
Perihal
bola dikutip dari www. bbc.co.uk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar