Senin, 03 Agustus 2015

Winners never quit?



-Untuk mencapai tujuan hidup, kita harus belajar dari Generation-Y yang sering mengatakan “Move on dong kaka…!” tulis Steve Kosasih dalam rubiknya, INSPIRA di harian Kompas yang saya baca kemarin (kamis, 25 Juni 2015).
Steve Kosasih bercerita tentang peristiwa kesehariannya dengan putrinya sebagai prolog untuk membahas soal Sunk cost fallacy, Kecenderungan manusia untuk tetap melakukan sesuatu hanya karena sudah terlanjur “menginvestasikan” biaya, waktu atau emosi yang terlalu “banyak” meskipun demikian melanjutkannya tidak membawa keuntungan, bahkan lebih sering menambah penderitaan.
Saya terenyuh membacanya, saya adalah satu dari sekian banyak yang mengalaminya. Dulu belum ada yang namanya passion, belum heboh dibicarakan maksudnya. Ada sih yang namanya penelusuran minat dan bakat dari guru BP waktu SMU dulu, tapi seingat saya cuman sampai sebatas pengisian quisioner saja, tidak ada kelanjutan atau feedback nya. Di lingkungan pun yang popular adalah mengejar kuliah di tempat favorit, jurusan favorit untuk profesi favorit tidak peduli seberapa kemampuanmu apalagi yang namanya passion, hasrat atau fitrah yang kita punya. Jadilah kuliah pun seperti terdampar di pulau asing.
Winners never quit” Itu bunyi tulisan yang saya print dan tempel di meja belajar kamar kost selama masa kuliah, tulisan yang saya baca berulang-ulang, memacu terus berusaha walau studi saya sudah terseok nyaris ambruk. Saat itu belum tahu bahwa “doktrin” itu dikutip dari Seth Godin dalam bukunya The Dip yang mengatakan “Winners never quit and quitters never win” sungguh dahsyat efeknya. Sayang saya mengamininya tanpa kearifan, ditambah pikiran sudah terlanjur, terlalu banyak waktu dan biaya yang sudah terpakai dan tidak mau jadi sia-sia, jadilah saya terjebak dalam sunk cost fallacy.
Kali kedua adalah dalam dunia kerja, sempat saya “terjebak” dalam profesi dan posisi yang sama selama genap delapan tahun. Rasa sayang dan takut membuat saya bertahan begitu lama, padahal waktu yang saya habiskan tidak membuat saya menjadi “mastering” dibidangnya, tidak pula bertambah makmur. Saya seperti kodok yang terlena oleh nyamannya air hangat padahal berada dalam panci di atas kompor.
Kita (saya) harus bisa lebih bijaksana mengartikan nasehat Seth Godin, maka kita bisa lebih presisten dalam berikhtiar tapi tidak ngoyo pada satu jalan, mengerti batas kemapuan dan keterbatasan, sadar kapan harus menyerah, tahu kapan waktunya berpindah dan mencari alternatif jalan lain. Move on...

Minggu, 07 September 2014

Eeyore in me



Dalam bukunya “The Te of Piglet,” Benjamin Hoff berbicara tentang kebijakan taoisme dalam berbagai perihal kehidupan, dalam sistem pendidikan, gerakan feminist, politik, dan banyak-banyak hal lingkungan. Dengan menggunakan tokoh-tokoh rekaan karya A. A. Milne dalam cerita Winnie the Pooh, Benjamin Hoff menjelaskan berbagai karakter manusia. Piglet yang selalu waswas dan tidak percaya diri dan tidak menyadari potensi yang dimilikinya, Eeyore yang negatif dan "menularkan" negatifitasnya, Tiger yang antusias dengan percaya diri yang berlebih dan berkepribadian mengendalikan. Begitupula kerakter Pooh, Rabbit, dan Owl tak luput diulasnya. Mungkin hanya Kanga, Roo  dan tentunya Christopher Robin yang hanya menjadi pelengkap dan mendapat sedikit porsi. Beberapa kegelisahan saya  muncul dalam buku ini dan digambarkan dengan tepat oleh Hoff, Sistim pendidikan yang membebani anak dan memaksa menerima materi dan informasi yang belum perlu atau layak mereka terima, membuat masa anak-anak menjadi lebih singkat, digantikan masa remaja yang prematur (hal. 73) dan perkembangan otak yang tidak seimbang (hal. 74).

Saat tiba di halaman 83 dan membaca kutipan Nadezhad Mandelstam "Kebaikan bukanlah sebuah kualitas inheren-ini harus dipupuk, ..." seperti katalis yang memicu reaksi otak saya, ingatan saya tiba-tiba melompat mundur, mungkin 12 atau 13 tahun yang lalu. Melompat dan masuk kesebuah ruangan di kampus dulu, dimana saya duduk berhadapan dengan seorang dosen pembimbing akademis, matanya melekat tajam tak terhindarkan, tangannya diatas meja yang memisahkan kami, menggenggam kartu rencana studi yang saya ajukan.

*"Enggak kebanyakan Mas? Kemaren saja kamu cuman lulus 9 SKS"* Otot pipinya berkontraksi, sekilas, tapi siapapun yang melihatnya tahu itu adalah sebuah senyuman yang melemahkan.

*"Enggak pak, barangkali sekarang bisa lebih banyak."* Saya mengelak tak berdaya, usaha bela diri yang sia-sia.

*"Mas itu memang sudah dari sananya santai, jiwanya minta libur terus."* Terdengar beberapa kawan mahasiswa yang duduk-duduk mengantri di satu set kursi tamu tepat di belakang saya mulai cekikian, sementara  itu dia meletakan kartu rencana studi yang dari tadi terus dibolak-baliknya lalu bersandar sambil mempertemukan jemari di kedua telapak tangannya, memberikan aura yang lebih intimidatif lagi, dialog selanjutnya adalah sebuah arena pembantaian.

Sesuatu yang ironis adalah, saya tidak ingat betul sisa wejangan maraton di 30 menit berikutnya, tapi kalimat *"Mas itu memang sudah dari sananya santai, jiwanya minta libur terus."* Berikut tatapan, senyuman dan jari-jari yang saling mengatup itu benar-benar terpatri di benak saya.

Di bab-bab lain episode kehidupan saya selanjutnya, kalimat itu menjadi sering muncul, bukan dari orang lain, melainkan saya sendiri yang mengucapkannya. Entah itu saat menunda pekerjaan, saat bekerja, saat santai, saat mencanangkan resolusi di awal tahun, target hidup, bahkan memilih profesi baru. Kalimat yang saya gunakan sebagai pembenaran atas kemalasan saya, sebuah dogma yang saya amini lalu saya telan begitu saja tanpa mempertanyakan kebenarannya. Sering saya bernostalgia kemasa lalu dan berpikir sambil tersenyum, "pintar betul ya dia membaca karakter mahasiswanya."

Seperti halnya kebaikan, daya juang, determinasi atau sebaliknya sifat malas dan santai bukanlah sebuah kualitas inheren, tapi sesuatu yang bisa tumbuh karena dilatih dan dipupuk, atau juga terkikis bila tidak diasah. Tidak ada orang yang rajin, malas, tekun, santai atau sifat apapun yang datang "dari sananya",  semuanya adalah hasil dari pembiasaan atau latihan secara sengaja, positif atau negatif semuanya bertumbuh karena terpupuk. Disuatu masa dikehidupan saya, Eeyore pernah datang dan menanamkan sebutir benih dikepala saya, lalu saya siram dan pupuk benih itu hingga tumbuh dan berkembang. Sekarang, mungkin sedikit terlambat, tapi tak mengapa, sekarang saatnya saya merabutnya hingga keakarnya yang terdalam, sebelum dia berbuah dan menghasilkan benih, dan mungkin secara tidak sengaja saya menamkan benih itu dikepala seseorang. Tidak ada dendam untuk Eeyore, dia hanya meletakan benih, sayalah yang membiarkanya hidup. Atau mungkin tanpa disadari saya telah berubah wujud menjadi Eeyore pula.

Itulah kehidupan, sebuah perjalanan proses belajar tanpa henti. Beberapa buah pemikiran Benjamin Hoff senada dengan banyak penulis lain yang mencoba menelaah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, seperti terlihat pada hal. 180.
"Mungkin saja hal-hal yang baik adalah semacam ujian, yang sebenarnya jauh lebih sulit, dan hal-hal yang "buruk" adalah hadiah untuk membantu kita tumbuh dan berkembang: masalah-masalah yang harus dipecahkan, belajar mengetahui situasi-situasi yang harus dihindari, kebiasaan-kebiasaan yang harus diubah, kondisi-kondisi yang harus diterima, pelajara-pelajaran yang harus dipelajari, hal-hal yang harus ditransformasikan-semua kesempatan untuk mendapatkan kebijaksanaan, kebahagiaan, dan kebenaran."
Pernyataan mengingatkan saya dengan yang dikatakan oleh *Andrew Matthews* dalam bukunya "Follow Your Heart" bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini adalah proses belajar, tidak satupun melainkan untuk mempersiapkan kita, dan jika sesuatu yang "buruk" terjadi, maka ada dalam peristiwa itu sesuatu yang harus kita pelajari, dan apabila hal "buruk itu kembali berulang berarti ada sesuatu pelajaran yang kita lewatkan atau bahkan kita belum mengambil pelajaran apapun.

Sabtu, 22 Maret 2014

Muse for the moose






Bis kami melewati kilang pengolahan gas alam yang berpagar kawat, terlihat dua ekor rusa yang terperangkap dibalik pagar dengan tanduk mereka yang berbelit semak.  Dua orang di depan saya berbincang.

Yang enak itu anaknya, dagingnya masih lembut, tangkapnya gampang, tinggal kita pancing dengan senter, pelan-pelan dia akan mendekat, tinggal kita pukul kepalanya.”

Tidak lari ya?”

Ah’ tidak, kita putar-putar senternya nanti dia terpancing sinar senter, kan penasaran toh, kalau sudah kena, kuping anaknya kita pijat keras-keras supaya di jerit, nanti ibunya pasti datang, tinggal kita ikat saja.

Kalau sepasang, tembak jantannya, nanti yang betina lari, kau tunggu saja, lama-lama nanti di pasti balik tengok jantannya, tapi kalau kau tembak betinanya sampai bengkok kau tunggu jantannya takkan balik lagi dia.” Dia melanjutkan.

Reaksi pertama saya adalah terkesiap, saya selalu memposisikan berada di pihak satwa liar dan menentang sebagian besar bentuk perburuan. Lalu pikiran saya melayang, saya teringat cerita pak tua dalam The Old Man and the Sea-nya Ernest Hemingway tentang sepasang marlin yang juga membuat saya sedih.

Mungkin terdengar aneh dan terlalu melankolis, tapi kita merespon sebuah kisah dengan jati diri kita yang sesungguhnya, siapa diri kita yang sebenarnya.
Sekarang giliran anda, apa yang terlintas di benak anda saat mendengar dialog semacam diatas? Tentang seru dan uniknya berburu di ranah papua? Romantis namun deramatisnya rusa betina yang kembali untuk jantannya? Eksotisnya kuliner yang bisa dirasa? Atau kejam dan rakusnya manusia? Tak harus memilih, tapi rasakan saja, siapa anda sebenarnya? Seperti apakah kita sesungguhnya?

He remembered the time he had hooked one of a pair of marlin. The male fish always let the female fish feed first and the hooked fish, the female, made a wild, panic-stricken, despairing fight that soon exhausted her, and all the time the male had stayed with her, crossing the line and circling with her on the surface. He had stayed so close that the old man was afraid he would cut the line with his tail which was sharp as a scythe and almost of that size and shape. When the old man had gaffed her and clubbed her, holding the rapier bill with its sandpaper edge and clubbing her across the top of her head until her colour turned to a colour almost like the backing of mirrors, and then, with the boy‘s aid, hoisted her aboard, the male fish had stayed by the side of the boat.

  Then, while the old man was clearing the lines and preparing the harpoon, the male fish jumped high into the air beside the boat to see where the female was and then went down deep, his lavender wings, that were his pectoral fins, spread wide and all his wide lavender stripes showing. He was beautiful, the old man remembered, and he had stayed.

  That was the saddest thing I ever saw with them, the old man thought. The boy was sad too and we begged her pardon and butchered her promptly. –quotes from The Old Man and the Sea by Ernest Hemingway-

Jumat, 21 Maret 2014

Gama GT, berat badan dan hibernating diet.





Akhir tahun lalu saya memutuskan untuk mengikuti anjuran dokter ahli penyakit dalam untuk menurunkan berat badan, dikombinasikan dengan terapi infused water, hibernating diet, dan olahraga. Memang berat badan saya naik turun, tapi secara kumulatif, walaupun belum puas dan belum mencapai berat ideal, tapi sampai saat ini, bisa dibilang bobot saya menurun.

Bulan lalu saya melakukan general medical checkup rutin tahunan, hasilnya baru diemail kantor minggu ini dan sungguh menjadi kejutan yang menyenangkan dan menyemangati. Hasil treadmill saya membaik, SGOT, SGPT dan trigliserida turun hingga masuk ambang batas normal, asam urat turun tapi masih sedikit diatas ambang normal, dan yang paling signifikan adalah gama GT, turun dari 251 ke 83, memang masih diatas normal, tapi mengingat setelah 7 tahun nilainya selalu tinggi jauh diatas batas normal (8-65) walaupun telah konsultasi ke internis  dan diterapi berbagai macam obat & suplemen tetapi saja tidak berubah, justru saat saya memutuskan menurunkan berat badan inilah dapat terlihat perbedaannya.

Memang untuk beberapa item seperti LED, kolesterol dan LDL naik dan kesimpulan dari hasil medical checkup saya masih harus menurunkan lagi berat badan dan konsultasi ke internis karena hematuria mikro, angka timbangan pun sudah terlihat mulai merangkak naik lagi, tapi intinya saya merasa saya sudah berada di jalur yang benar, tinggal meneruskan dan berusaha lebih keras.

Satu hal yang perlu disorot adalah metoda yang saya jalani, selain menurunkan berat badan, dan infused water yang sudah jarang saya lakukan (keterbatasan ongkos produksi), Hibernating diet mungkin juga bisa dipertimbangkan sebagai elemen penting dalam menstabilkan produksi enzyme liver saya, bukan sekedar teori awan petruk wedhus gembel yang saya buat (sorry, private joke), tapi jika kita menelusuri beberapa literatur di internet, banyak yang sudah mengklaim khasiat metoda ini untuk kesehatan hati. Lagipula, sebagai umat muslim, saya tidak ragu sedikitpun akan khasiat dari madu.

Big is beautiful, but it’s not healthy. So, be wise n be healthy.

tukang nenteng kaleng