Rabu, 11 Agustus 2010

Bogor malam yang gerimis


            Bogor malam yang gerimis, udara yang dingin, warung tenda dan sepiring sate padang hangat. Sebuah kombinasi yang saling melengkapi dengan begitu harmonis. Saya sempatkan untuk momen ini karena perut yang sudah lapar dan perjalanan ke sukabumi yang masih sekitar tiga jam lagi. Sambil menikmati hidangan dan udara malam, saya lepaskan pikiran untuk melayang terbang. Karena melamun itulah saya tidak sadar ada seseorang datang berdiri dihadapan saya, wanita separuh baya dengan pakaian lusuh mengasongkan telapak tangannya yang terbuka di depan saya. Saya terenyuh, di malam yang dingin seperti ini, lagi hujan, dia harus menyeret tubuh keriput kurusnya mencari sedekah untuk mengisi perutnya, sementara mungkin bagi wanita lain seusianya sedang menikmati berkumpul ditengah keluarganya, dengan perut kenyang, dengan rumah yang hangat. Bagaimana dengan dia, sendiri, tidak ada yang peduli dan mengurusnya. Dengan imajinasi yang tercipta tentangnya saya bereaksi cepat, saya hitung isi dompet, setelah menghitung berapa yang harus saya bayar untuk makan dan ongkos perjalanan selanjutnya, saya ambil sisanya dan meletakannya pada genggaman si ibu itu. Kemudian dia berucap terimakasih dan berlalu pergi dan saya  sendiri melanjutkan makan dengan perasaan berkelimpahan.
               Selepas makan, dengan perut terganjal saya berjalan mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan, saya teringat wanita paruh baya tadi, mungkin dia juga sudah mengisi perutnya, perasaan saya terbebas dari perasaan bersalah bahwa perut saya kenyang sementara di sekeliling saya masih ada orang yang kelaparan. Saya naik ke sebuah colt dan memilih duduk dekat jendela, saya berharap tidak ada kejadian yang mengharuskan saya merogoh saku selain untuk membayar ongkos karena sudah tidak ada lembaran uang lagi selain untuk membayar transportasi ini. Saat colt melaju perlahan memulai trayeknya, saya layangkan pandangan menyisir sisi jalan, melihat pemandangan bogor di malam hari. Tiba-tiba pandangan saya terkunci pada sesosok wanita paruh baya yang berdiri didepan sebuah kios gerobak rokok, tangan kirinya memegang gelas limun kemasan sementara yang lainnya menjepit sebatang rokok, sambil bercakap-cakap dia hembuskan asap putih tipis dari bibirnya yang perlahan melayang lalu sirna, begitu pula rasa empati saya , melayang lalu sirna seperti asap rokok itu
           

Selasa, 13 April 2010

Balongan


“Hasilnya udah on, tinggal nunggu discharge, tinggal pulang aja pak, paling laporan hasil analisanya baru dibuat besok siang, balik lagi aja besok…”
Uh” sia-sia sudah penantian selama 7 jam hari itu, selama melangkah keluar gedung saya coba kunci mulut saya, mencoba untuk tidak bersungut.
Di luar hari sudah gelap, masih ada beberapa warung makan yang buka namun angkot angkot berwarna kuning itu sudah tak terlihat lagi. Baru jam 8 malam tapi jalan sudah lengang, hanya terlihat satu becak, tak ada pilihan lain.


“Bunderan pak! Bisa?”
“Bisa,” ujarnya sambil menegakan sandarannya
“Berapa?”
“Jauh, …dua puluh ribu” ujarnya, sayapun mengangguk tak sampai hati untuk menawar.
Tubuh rentanya bangkit memutar kendaraan roda tiga tersebut ke posisi agar saya bisa naik dengan mudah, sebelum menduduki sadel, tangannya yang kurus dengan terampil menyalakan selinting rokok kretek, wush… wush, asap pun mengepul di kegelapan. Sesuatu yang selalu tidak sanggup saya pahami sebagai seorang yang tidak merokok, Seperti lokomotif uap, sepertinya paru parunya harus terbakar terlebih dahulu sebelum digunakan.

Sepuluh menit berlalu semenjak kami meninggalkan pangkalan becak, jalan yang terlewati landai, sepi dan gelap, roda, rantai dan gigi saling berderit menjadi musik pengiringi sepanjang perjalan kami yang lengang. Hening tanpa percakapan, si bapak terus mengayuh, nafasnya seperti susul menyusul tak beraturan ketika jalanan berubah menjadi menanjak saat mendekati jembatan. Sebelum mencapai titik kulminasi si bapak turun dari sadelnya, dengan tersengal mendorong becak dengan bobot penumpangnya yang hampir mendekati satu kuintal itu.

Saya rikuh untuk tetap duduk, tapi juga bingung, apa saya harus turun? Atau malah sekalian bantu mendorong becaknya saja? Tapi masa sih? Akhirnya saya duduk canggung menahan nafas sampai tanjakan terlewati.
Sisa perjalanan malam itu menjadi sebuah moment perenungan, saya yang penuh keluh kesah dalam menjalani pekerjaan dan bapak tukang becak dengan dengan dua puluh ribu rupiah  untuk sebuah perjalanan yang tak sebanding. Sungguh tak pandai saya bersukur.

 Di muka sebuah hotel murahan saya turun, dengan lembaran uang dan senyuman kecil bapak tukang becak melompat ke atas sadel dan mulai mengayuh pedal pedal yang memutar roda hidupnya, menjauh dan menghilang di kegelapan, meninggalkan saya sendiri yang masih termenung.

Jumat, 26 Februari 2010

Tentang mimpi. ……bukan! ini tentang visi


Tentang mimpi. ……bukan! ini tentang visi

Beberapa waktu yang lalu saya sedang iseng membuka blog milik seorang teman lama, dalam salah satu posting-nya dia bercerita akan keinginannya memiliki sebuah toko buku kecil yang dia ilustrasikan mirip dalam film Nothinghill, sebuah toko travelbook yang dalam kisah film itu dimiliki oleh aktor utama yang saya lupa cara mengeja namannya jadi  tidak akan saya tulis disini daripada salah dan kena somasi. Karena merasa memiliki mimpi yang sama  saya langsung bersemangat memberi comment, saya ceritakan hasrat saya yang juga memimipikan memiliki sebuah toko buku mirip dalam film itu, lucunya saya tidak menyadari bahwa saat dia mendeskripsikan keadaan toko buku dalam film itu, isi kepala saya tertuju pada film yang lain.
Awalnya sehabis menulis komentar, saya memang merasa ada kejanggalan dalam tulisan saya, tapi lalu saya tidak acuhkan, “ah, mungkin sudut pandang kami yang sedikit berbeda, toh hanya sekedar comment,” ujar saya dalam hati. Saya sadari kekeliruan saya pada beberapa hari berikutnya saat saya bertugas di sebuah situs offshore. Saat  itu, pada waktu rehat saya menonton tv dari sebuah saluran televisi berlangganan dan secara kebetulan menayangkan film tersebut. Saya kaget dan jadi malu sendiri, “oh! Film ini maksudnya,” sementara film yang saya bayangkan waktu menulis komentar pada blog teman saya adalah film yang di bintangi aktis yang bermain di film City of Angel, namanya Meg Rayn kalo tidak salah (berarti harus betul). Di kedua film tersebut memang tokoh utama diceritakan memiliki toko buku, tetapi nuansanya sangat berbeda, kok bisa-bisanya pikiran saya tertukar.
Masih tentang mimpi, pernah juga di sebuah perbincangan ringan di sore hari bersama saudara perempuan saya, diawali ngobrol ngalor-ngidul, sampailah pembicaraan kami pada topik tetang membuka usaha mandiri. Dalam keluarga kami memang tidak mengalir darah entrepreneur yang cukup kental, ………
(DISINI TULISAN TERHENTI KARENA GENERAL ALARM BERBUNYI DAN SAYA HARUS SEGERA PERGI KE MUSTER STATION YANG TERNYATA HANYA DRILL. PENULISAN BERLANJUT KETIKA SAYA BERTUGAS DI TELUK BINTUNI-PAPUA…..........HAMPIR SATU BULAN KEMUDIAN)
……Dalam keluarga kami memang tidak mengalir darah enterpreneur yang cukup kental, dalam cerita-cerita mendiang ibu saya dulu dia pernah berkisah beberapa wirausaha yang pernah dia jalani bersama pasangan jiwanya (ayah saya tentunya), mulai dari warung sederhana, bengkel mobil, beternak ayam negeri dan masih banyak lagi dan beberapa diantaranya sempat mengalami masa keemasan dan pada akhirnya kedua orang tua saya memutuskan untuk istiqomah di dunia pendidikan hingga akhir khayatnya. Tapi mimpi, obsesi dan kesuksesan bukan mengenai genetik bukan?
            Jadi, mulai dari paragraph ini mari kita bicara tentang mimpi, tapi saya sendiri lebih suka menyebutnya sebagai sebuah visi.
Sebuah toko buku kecil yang tenang tanpa hiruk pikuk, tanpa announcer bersuara datar yang memperomosikan buku baru, tanpa berjualan peralatan elaktronik atau peralatan olahraga, tanpa pemberitahuan diskon yang bergantungan dimana-mana. Tempat yang nyaman untuk pengunjung berlama-lama untuk membaca buku, setidaknya untuk memastikan buku yang mereka beli tidak akan membuat kecewa saat membuka pelastik pembungkusnya di rumah. Walaupun kecil dan tidak ramai, toko buku ini tidak hanya menjual buku-buku dari penerbit besar, tetapi penerbit-penerbit kecil, penerbit kampus atau bahkan independent sehingga walau tidak memiliki banyak stok tetapi lengkap dan variatif.
Mimpi saya lainnya adalah sebuah restoran atau kafe atau sebuah warung kopi lebih tepatnya. Kenapa warung kopi? Karena warung kopi bagi saya adalah bagian dari identitas bangsa ini, saya pikir mulai dari timur hingga barat wilayah bangsa ini selalu ada yang namanya warung kopi, tempat orang bersosialisasi, nongkrong sambil saling mengenal dan bicara. Dari topik politik yang berat hingga pertandingan sepakbola. Sayangnya yang namanya warung kopi ini semakin terlindas saja dengan kafe-kafe, gerai kedai kopi waralaba yang sangat berbau amerika itu.
Tidak ada yang salah dengan yang namanya amerikan coffee, espresso, capucino ataupun latte, tapi dimata saya yang kampungan ini, yang asik dari yang namanya ngopi itu segelas besar kopi panas yang dipermukaannya penuh mengambang serbuk kopi, ditemani ubi goring, koran dan sebuah pembicaraan hangat (atau favorit saya adalah sambil menulis atau melamun), kita juga punya kopi yang tidak kalah nikmat dari espresso, toh kita punya kopi aceh, kopi toraja, kopi luak, kopi jahe, kopi dangdut dan masih banyak lagi. Tidak ada dalam benak saya untuk kampanye mengembalikan kebiasaan minum kopi bangsa ini ke akar budayanya, terlalu muluk, sayapun terbuka dengan pengaruh global. Saya hanya ingin memberikan sebuah alternative, sebuah pilihan lain, dari secangkir espresso kental bernuansa asam atau mug basar kopi manis berkrim tebal dengan serbuk kayu manis yang membentuk lukisan, ke segelas kopi tubruk sederhana tanpa ornament kecuali bubuk ampas kopi yang mengambang, tetapi di dalam kesederhanaan itu, pada aroma harumnya yang menguap terdapat karakter kuat, keramahan dan kehangatan bangsa ini. Rasa yang menjadi identitas bangsa ini. Bayangkan suatu saat jika biasanya para expatriate yang telah kembali kenegara asalnya ditanya apa yang anda rindukan dari Indonesia? jika biasanya mereka mengatakan “bau rokok kreteknya,”  kini merekapun berkata “aroma kopi tubruk,” ya kopi tubruk, kopi Indonesia.
Saya rakus, saya punya banyak mimpi dan saya mau semuanya, dan sekaligus pula. Jadi dalam benak saya adalah sebuah toko buku-klub baca-coffee shop. Dengan konsep menumpuk seperti itu saya tidak tahu yang mana yang harus menjadi main core business-nya, tapi saya yakin semunya bisa berjalan selaras. Dalam imajinasi saya sebuah toko kecil (atau berbentuk rumah) yang bagian dalamnya digunakan sebagai toko buku dengan rak rak buku ramping yang berjejer renggang, bangku bangku kecil untuk pengunjung duduk istirahat dan kipas angin besar yang berputar di langit langit ruangan (yup, tanpa AC). Ruang buku terhubung ke ruangan di bagian lebih luar yang menjadi pembatas dengan pintu masuk, sebuah ruangan yang berfungsi sebagai ruang baca yang sekaligus merupakan kedai kopi juga, dengan furniture kayu design  retro, beberapa set meja-kursi, satu set sofa dengan meja tamu, untuk pengunjung yang datang sendiri ada kursi dengan coffee table kecil yang exclusive disamping jendela. Juga terdapat beberapa set meja di teras untuk para perokok. Kedai dengan suasana yang cozy dan relative sunyi.
Menunya? Tentu saja kopi, sebagai variasi mungkin ada juga minuman sederhana wedang jahe, rhonde, bandrek, bajigur. Hanya ada makanan kecil sebagai cemilan teman minum kopi, tidak ada menu makanan berat. Di bagian kedai kopi itu tersedia rak-rak buku kecil dengan buku buku koleksi pribadi yang bebas dibaca pengunjung ditempat, membuatnya mirip reading club jadi pengunjung bisa baca buku seharian ditemani musik lembut dan secangkir kopi. intinya adalah sebuah tempat untuk orang-orang yang sedang ingin santai membaca buku tapi ingin mencari suasana berbeda, bosan di rumah tapi malas untuk pergi  ke tempat yg ramai, sebuah tempat untuk para introvert sejati (..he..he..he introvert united). Tapi juga sesuai untuk orang yang ingin hang out, nongkrong, kumpul ngobrol dengan teman lama.

epilog
Di suatu sore yang gerimis, saya duduk disalah satu meja di teras kedai, sebuah buku di pangkuan saya dan secangkir kopi yang perlahan beranjak dingin di atas meja., Mata saya menyapu ruangan, melihat beberapa pengunjung tengah asik bercengkrama, lalu beralih memandang tetesan hujan, dengan reflek tangan saya meraih cangkir kopi, menyeruputnya perlahan, membiarkan aromanya bergerak lamban melewati celah gigi  dan menyusuri lidah, …sesaat, lalu mengatupkan mulut, menyesap rasa yang tersisa di bibir yang masih basah oleh kopi hingga tidak ada rasa yang tersisa kecuali sebuah sensasi, sensasi khas kopi tubruk, sensasi rasa Indonesia……semua orang punya mimpi bukan?

P.S.: Mimpi, toko buku kecil yang gak hiruk pikuk, (tapi kalo gak rame bisa untung gak ya?). gak perlu ngejar untung, yg penting gak rugi n gak nambah utang, asal fix cost kebayar.
Anggap aja tulisan ini sebuah proposal, banyak gak ya temen2 yg punya visi sama? kan kalo bisa di kumpulin bisa diwujudkan tuh, modal bareng, usaha bareng, untung bareng...minimal kalo rugi bareng.  J

Tangguh feb 21, 2010

Selasa, 12 Januari 2010

Run Fat Boy Run


Run Fat Boy Run
Setelah ‘update status’ facebook, dengan hidung beringus saya berangkat dini hari itu,.Sedikit flu bukanlah sebuah alasan yang cukup kuat yang dapat diterima oleh perusahaan tempat saya menjemput rizki agar saya dapat menolak untuk bertugas. Jadilah siang harinya saya sudah berada di sebuah floating storage di perairan Natuna.
Keberuntungan berpihak pada saya waktu itu, karena alasan cuaca buruk maka pekerjaan saya ditunda hingga keesokan harinya, jadi saya masih punya waktu satu malam untuk mengistirahatkan tubuh sakit saya. Keesokan harinya ternyata saya tidak merasa lebih baik, malah kepala saya terasa berat, untunglah rekan kerja saya yang baik hati menawarkan diri untuk menyeberang ke tanker eksport sementara saya bertugas di terminal saja.
Seorang  loading master yang memperhatikan suara saya yang makin bindeng saja dan seringnya saya nyingsot menyarankan untuk menemui dokter, awalnya saya enggan karena takut terlilit aturan safety yang ketat, akan tetapi akhirnya saya ikuti juga sarannya.
Si dokter kaget saat memeriksa tekanan darah saya, “146/109” katanya, saya sendiri tidak tahu satuan untuk tekanan darah apa dan apa arti angka angka itu. Menurut si dokter itu sudah dalam stage 2 yang berdasar aturannya saya tidak diperkenankan untuk berada di area offshore. Dengan hasil pemeriksaan itu maka saya langsung diberikan rekomendasi untuk segera ‘turun’ direct to Jakarta yang secara kebetulan saya dan rekan saya memang sedang kasak-kusuk minta flight helicopter khusus untuk pulang sesegera mungkin setelah pekerjaan selesai. Klop sudah.  Dalam percakapan saya dengan Pak dokter dia menerangkan tentang berat tubuh saya yang secara gemilang telah mencapai tahap obesitas, juga tentang efek efek yang ditimbulkannya. Sesungguhnya apa yang kami bicarakan pernah saya dengar sebelumnya dan saya sadar penuh akan kebenarannya, hasil medical checkup setiap tahunnya pun selalu mengingatkan saya. Akan tetapi niat saya untuk bisa hidup dengan pola sehat tidak pernah kuat bertahan sekuat saat pendeklarasiannya, resolusi tahun baru tinggalah resolusi, dan berat tubuh saya terus menanjak.
Ternyata berdasarkan uraian sang dokter, berbagai penyakit telah menanti saya, dengan sabar menunggu hingga waktunya tiba lima belas tahun mendatang, tepatnya saat saya berumur 45 tahun dimana mereka akan dengan serta merta menyambut saya kedalam pelukannya, dimulai dari diabetes, liver, jantung koronel, ginjal dan banyak lagi, dua yang disebut terakhir adalah penyakit yang menemani kedua orang tua tercinta saya menemui malaikat Izrail (saya juga ada disana, tapi saya tidak masuk dalam katagori penyakit kan?!?!).
   Untuk hidup sehat saya harus memulai merubah pola makan saya,  “kira-kira sebegini”  ujar dokter sambil menumpangkan telapak tangan kanannya seperti gerakan memotong ke pangkal jari telapak tangan kirinya saat menerangkan kuantitas nasi yang boleh saya konsumsi (uh beraaaaat!!!). Karena sesunguhnya hidup saya tidaklah aman hingga lima belas tahun mendatang, masih menurut dokter, saat ini pun ada yang tengah mengancam jiwa saya, julukannya dikenal dengan nama silent killer, mengintai diam-diam, dan telah begitu dekat, menunggu saat yang tepat untuk memangsa saya. Oleh karenanya dokter menyarankan saya untuk segera berlari untuk menghindar darinya, tidak ada banyak waktu lagi dan tidak banyak pilihan selain berlari dan berlari. Berlari dalam arti sesungguhnya, saya harus mulai berlari. (dokter menyarankan minimal 30 menit dalam satu hari dan dari hasil investigasi pansus Century ternyata identitas si Silent killer itu bernama tekanan darah tinggi).
Kejutan telah menunggu saat saya tiba di shorebase, ternyata seat saya untuk flight Matak-Jakarta telah dibatalkan untuk sebuah alasan sehingga saya harus tinggal sementara di pulau tersebut hingga dua hari mendatang. Dalam hari penantian saya, saya sempat memeriksakan diri ke dokter yang bertugas di shorebase. Ternyata tekanan darah saya telah berubah menjadi 160/100.
Siang harinya, saat saya hendak berwudhu di sebuah mesjid, saat mendengus kencang untuk mendorong ingus saya keluar lalu secara tiba-tiba sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya, keseimbangan tubuh saya hilang, saya limbung. Sementara tangan saya berpegang erat pada keran, tubuh saya melekat pada dinding,  “Ini yang namanya darah tinggi,” hati saya berujar. Lantai tempat saya berpijak seakan bergerak memutar, saya angkat kepala saya dan pemandangan yang lain tampak bergerak memutar pula, lalu saya coba pejamkan mata, ternyata efek yang ditimbulkan bukan bertambah baik, tubuh saya semakin limbung. Dalam keadaan kritis saat itu otak saya masih sempat berpikir jangan sampai terulang lagi kejadian ketika saya terjatuh di kamar mandi di sebuah penginapan di Plaju yang berakhir tiga tulang rusuk saya patah. Juga tidak ada satu orangpun di mesjid pada saat itu. Saya biarkan tubuh saya melorot dan membuat berat tubuh  saya bertumpu pada lutut sementara tangan saya tetap berpegang erat pada keran. Untuk beberapa saat saya bertahan pada posisi seperti itu sambil terus berIstighfar
Saya berpikir bagaimana seandainya hal itu terjadi saat saya turun ke tugboat dengan personal basket atau saat sedang menggantung di “tangga monyet”, atau naik storage tank yang lumayan tinggi dan curam itu. Rupanya ‘silent killer’ sang pembunuh sudah mulai melancarkan aksinya, begitu nyata mengancam jiwa saya. Saya harus segera berlari, …”Run fat boy run!!!”

Sukabumi 02022010

PS:  - “Run Fat Boy Run” sesungguhnya adalah sebuah judul film yang saya jarah (tentunya tanpa izin dari si pembuat) yang saya merasa tokoh ceritanya memiliki sebuah kesamaan karakter  dengan saya.
            - Saat saya menulis tulisan ini (keesokan harinya setelah saya tiba di Jakarta) saya mendapat telephon dari kantor bahwa nanti malam saya sudah harus berangkat lagi ke Natuna tanpa sempat memeriksakan diri ke dokter apalagi memulihkan kondisi kesehatan saya. (yes this is  life, and  it’s hurt sometime)

tukang nenteng kaleng