Rabu, 12 Oktober 2011

Long way to die


Beberapa “Mama” berderet menggelar dagangannya di sekitar bandara Babo, dengan kardus-kardus bekas seadanya, mereka semua menjual kepiting bakau, kepiting dengan ukuran sangat besar menurut saya jika dibandingkan dengan kepiting yang sering saya liat jika melintasi pasar Keramatjati.  Dengan harga berkisar seratus ribu hingga seratus limapuluh ribu rupiah setiap kardusnya, berisi sepuluh sampai lima belas ekor (walau sebenarnya tak berekor, tapi istilahnya jadi apa?!?!), dengan ukuran  seperti itu jadi terasa murah.
Buah tangan yang satu ini menjadi khas bila saya pulang bertugas dari Tangguh, Bintuni, bukan karena khasnya saja tapi karena trip yang hanya dari airport ke airport tanpa melewati perkotaan atau kawasaan perniagaan lokal, maka kepiting ini sajalah opsi yang ada untuk oleh-oleh dibawa pulang. Sebenarnya masih ada pilihan seperti ikan asap atau sarang semut, tapi untuk sengaja membelinya, kita harus menyempatkan diri pergi ke pasar setempat saat transit di bandara Biak, dan biasanya tidak ada waktu (atau terlalu malas) untuk melakukan itu.
Dalam kotak kardus bekas kemasan mei instan kepiting berderet rapat, rapih menghadap keatas dengan capit terikat. Entah sudah berapa lama para tahanan ini terikat dalam posisi seperti itu, Mama, sang penjual berpromosi tentang kotak kepitingnya yang berisi beberapa betina, saya manggut manggut tidak mengerti.
Setelah terbang melintasi hampir separuh panjang negeri ini para kepiting ini terlihat jinak, karena walau banyak ikatan pada capitnya sudah terlepas, pada saat saya taruh mereka di ember, mereka tidak banyak bergerak. Ternyata saya salah, karena satu malam saya biarkan mereka dalam keadaan relatif bebas dalam ember, dipagi keesokan harinya mereka berubah menjadi begitu agresif, dengan capit yang terangkat keatas menyerang setiap apapun yang mendekat. Rupanya perilaku kalem mereka hanya efek jet lag saja.
“Kata temen sih digetok aja kepalanya pake palu!” suara kakak perempuan saya ditelepon. Sebuah informasi yang menyesatkan. Saya pilih target korban, saya angkat palu sambil menimbang-nimbang, mencoba menakar tenaga yang akan digunakan, “Bismillah,” saya ayunkan palu penuh ragu. TOK!!!   …Si kepiting yang naas masih hidup, tapi sekarang dengan lubang bulat diatas batok kepalanya. Tidak ada tanda-tanda sang kepiting akan menemui ajalnya, hanya kepala saya sekarang yang berdenyut meliat itu semua. Jalaslah sudah sekarang, ‘si teman’, sang pemberi saran sepertinya hanya memberikan idenya berdasarkan asumsi bukan pengalaman.
Pada akhirnya saya kembali ke ide awal, eksekusi dilakukan menggunakan air mendidih.  Masih dengan kronologi yang tak kalah dramatis, pasang mata menonjol yang seperti terus menatap, beberapa hentakan saat menjemput maut, tubuh memerah, akhirnya mereka menjalani takdirnya dalam damai (semoga). Jadi, dibalik sepiring hidangan kepiting saus padang, ada jalan yang sangat panjang, jalan yang panjang untuk kematian. Dalam pencarian pembenaran, saya jadi ingat puisi Dadang Ari Mortono*)

*) Dadang Ari Mortono, “Sesaat sebelum kelinci itu disembelih” dimuat  harian KOMPAS, minggu, 16 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tukang nenteng kaleng