Jumat, 24 Februari 2012

ten speed bicycle


Sesekali saya mencuri pandang, paruh baya, dengan kulit keriput, berkeringat lusuh dia terduduk di dekat pintu, sehabis berpanas-panas naik turun dua-tiga tanki setinggi 20 meter-an, semburan dingin AC dapat membuatnya rontok menurut pengakuannya pada petugas jaga yang sesungguhnya tak menghiraukan perkataannya. 
Pasti rekan satu profesi pikir saya, tukang nenteng kaleng juga. Memandangnya saya jadi membanyangkan saya sendiri lima atau sepuluh tahun kedepan, ujug-ujug perut saya mules, bukan diare atau masuk angin, tapi benar-benar mules membayangkan masa tua saya, bayangan yang sungguh tidak mengenakan. “Ya Allah, saya tidak mau seperti itu.” Saya membatin.
Dia memandang kearah saya, sesaat melihat tulisan yang terbordir di atas saku depan seragam lalu tersenyum ramah. "Taufik masih ada?" tanyanya membuka percakapan?
                "Masih" jawab saya ragu, tidak yakin bahwa kita sedang mengacu pada orang yang sama.
                “Hum, Mandagie, Ilhar?” tanyanya lagi
                “Iya masih juga, bapak kenal?”
              “Dulu saya sempat ditempatmu juga, jalan kerja bareng dengan mereka. …tahun berapa ya?” dia menerawang.
                “Oh.., masih senior saya juga dong” Saya coba berbasa basi, senyumnya kecut ketika mendengar itu.
 “Sudah jadi bos semua ya mereka? “ Matanya menyipit, pertanyaannya tak meminta jawaban. Malah terdengar seperti sebuah pernyataan kebencian di telinga saya. 
Mules saya tidak berkurang setelah percakapan pendek itu, malah sepertinya semakin menjadi, seperti bermetamorfosa dari sebuah bentuk kekhawatiran. Saya ingat pertama menceburkan diri dalam pekerjaan ini, saya sudah dapat melihat kedepan bahwa yang dituju tidaklah benderang, maka saya tetapkan untuk bertahan satu tahun saja, lalu mencari yang lebih baik, itu targetnya. Tapi apa lacur, sekarang sudah enam tahun berlalu dan saya masih berada di titik yang sama. Fakta yang serupa laba-laba, merayap-rayap dirongga perut saya. Sepertinya dialah penyebab mules itu. Lalu bagaimana enam tahun berikutnya? Apakah saya akan berakhir tragis, serupa dengan nasib si pak tua. Atau akankah seperti nama-nama yang disebutkannya? Ataukah lebih baik? 
Kita mulai mengayuh di garis start yang sama, tapi pada akhirnya kita mengakhiri di garis finish yang berbeda. di tingkat yang beragam, dengan pencapaian masing-masing. Dan kini sang laba-laba pun menjaring sarang dalam pikiran saya.
“Life is like a ten speed bicycle. 
Most of us have gears we never use"-Charles M. Schulz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tukang nenteng kaleng